Perbedaan utama antara esai dan makalah penelitian adalah bahwa makalah penelitian biasanya lebih lama. Sebuah esai biasanya tiga sampai lima paragraf, dibandingkan dengan kertas penelitian yang beberapa halaman. Selain itu, makalah penelitian biasanya analisis atau berpendapat titik, sementara esai berfungsi untuk menjawab sebuah pertanyaan. Akhirnya, sebuah makalah penelitian tergantung pada pengetahuan orang lain untuk membuktikan maksud Anda, sementara esai sebagian besar tergantung pada pikiran Anda sendiri dan pengalaman.
Senin, 28 Februari 2011
Minggu, 20 Februari 2011
Uluran Tangan
Suatu ketika di negeri antah berantah, terdapat suatu daerah yang banyak sekali bencana alam yang menimpa. Hal ini membuat meledaknya jumlah deretan nama anak yatim, orang-orang trauma dan putus asa, manula yang tidak tahu harus mengadu kemana tentang nasib mereka dan masih banyak jenisnya. Kesemua dari mereka adalah orang yang kesusahan.
Perdana menteri sering berkunjung ke daerah tersebut, sambil membawa bantuan yang cukup meringankan beban keseharian rakyatnya. Pada suatu ketika, oleh perdana menteri anak-anak yatim dikumpulkan kemudian dipindahkan ke daerah yang lebih tenang dan kehidupan warganya dalam keadaan yang maju dan termasuk dalam ekonomi kuat.
Disana anak-anak tersebut dibuatkan sebuah rumah kasih sayang, sejenis rumah anak yatim. Kalangan pengusaha, wirausahawan, pejabat, dan orang-orang terpandang dipanggil. Oleh perdana menteri diumumkan bahwa disinilah tempat anak-anak terlantar dan kesusahan yang sangat butuh uluran tangan. Oleh karenanya mereka dimintakan bantuan. Secara berkala mereka dimintai bantuan untuk menghidupi anak-anak tersebut.
Disana anak-anak tersebut dibuatkan sebuah rumah kasih sayang, sejenis rumah anak yatim. Kalangan pengusaha, wirausahawan, pejabat, dan orang-orang terpandang dipanggil. Oleh perdana menteri diumumkan bahwa disinilah tempat anak-anak terlantar dan kesusahan yang sangat butuh uluran tangan. Oleh karenanya mereka dimintakan bantuan. Secara berkala mereka dimintai bantuan untuk menghidupi anak-anak tersebut.
Tiga bulan kemudian perdana menteri menugaskan orang kepercayaannya untuk mengunjungi rumah kasih sayang tersebut. Satu hari penuh utusan tersebut bersama anak-anak. Apa yang terlihat sungguh memilukan. Anak-anak kekurangan makanan. Bantuan yang diterima tidak sebanding dengan jumlah mereka. Sehingga sebagian anak rela berpanas-panasan untuk jualan koran, membantu angkat belanjaan, ataupun menengadahkan tangan di kaca-kaca mobil yang mengkilap.
Kemudian hal itu diceritakan kepada Perdana Menteri. Dengan buliran air mata Perdana Menteri mendengarkan cerita utusannya dengan seksama.
Hari berikutnya, seluruh anak yatim, dibawa ke ibu kota. Dan seluruh biaya kehidupan mereka ditanggung oleh perdana menteri. Entah kebetulan atau tidak, beberapa bulan kemudian, daerah bekas anak-anak tersebut tinggal, terkena musibah dan bencana yang dahsyat.
Sahabat resensi.net, kira-kira maknanya apa ya?? Silahkan komentar di bawah ini.
======================
Kepada sahabat yang senang mengcopy paste artikel yang ada di Resensi.net, diharapkan mencantumkan sumbernya. Dalam kehidupan ini, ada etika, ada sopan santun dan ada tata kramanya. Dan etika copy paste adalah mencantumkan sumbernya.
Jika sahabat menyukai kehidupan yang tidak ada etika, maka itu adalah kehidupan yang liar. Yakinlah, itulah nanti kehidupan liarlah yang akan menemani sahabat. Maaf, ini bukan doa saya. Tapi ini merupakan akibat dari suatu sebab.
Dalam Alquran disebutkan “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
Sabtu, 19 Februari 2011
Hal Kecil Dengan Cinta
Dalam kehidupan ini kita tidak dapat selalu melakukan hal yang besar. Tetapi kita dapat melakukan banyak hal kecil dengan cinta yang besar.
In this life we cannot always do great things. But we can do small things with great love
~Mother Teresa
Minggu, 13 Februari 2011
Belajar Dari Primagama
*Primagama In Memory..
-MIS (Musyawarah Instruktur Smart)-
Yg Telah Berakhir Barusan di PPPTK Matematika Jalan Kaliurang , Tlah Mninggalkan Byk Knangan. 2hari serasa Mdpatkan Pmbelajaran Yg Brharga Ttg Arti Sbuah Karya, Kata Dan Karsa.
...Kata Bpk.Drs.Supriyadi (Manager Pendidikan Se Indonesia), Primagama bsar Krn Kebersamaan,,
Dlm Ksempatan Yg Lain,Diskursus yg d hasilkan adl.Bhwa Kunci Sukses Brsama adl.Kbersamaan,Profesionalitas & Kpercayaan
I Hope..
Primagama, sebuah pembelajaran kedewasaan ku
Sabtu, 12 Februari 2011
Puisi Orang gagal
Aku takut orang lain akan menghina diriku, jika aku menjadi diri sendiri.
Aku takut orang lain akan mentertawakanku, jika aku berani tampil beda.
Aku takut orang lain akan menganggapku gila, jika aku berani mencoba hal-hal baru.
Aku takut orang lain akan mengucilkanku, jika aku tidak sesuai dengan pandangan mereka.
Aku takut orang lain akan mengejekku, jika aku gunakan caraku sendiri.
Aku takut orang lain akan menganggapku orang aneh, jika aku melakukan sesuatu yang berbeda dari cara orang kebanyakan.
Aku takut..
Aku takut…
Aku takut….
Aku takut dunia akan melemparkanku ke jurang kesepian jika aku berusaha untuk menjadi apa adanya diriku…..
Aku sangat takut…..
Makanya lebih baik aku menjadi seperti orang kebanyakan yang hanya mengharapkan upah standar dan hidup gak neko-neko.
Gak perlu ngambil resiko untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Gak perlu repot-repot punya impian karena impian itu hanya untuk orang yang tidak waras.
Gak perlu susah menjalani kerasnya perjuangan mewujudkan mimpi.
Gak perlu kelaparan makan sehari sekali demi ngumpulin modal.
Gak perlu ngrasain pahitnya dihina karena punya impian tinggi yang orang lain gak bakalan ngerti.
Gak perlu kurang tidur lembur tiap hari demi cita-cita yang tinggi.
Gak perlu ini, gak perlu itu….
Simple aja lah, nikmati kehidupan standar, penghasilan standar, nasib standar…..
Siapa tau besok pasang togel bisa meledak dapat milyaran.
Siapa tau………
Mendingan nonton sinetron sambil tiduran, nikmat………..
Read more: http://www.resensi.net/puisi-orang-gagal/2010/09/#ixzz1DlJ9uYBf
Senin, 07 Februari 2011
New York Times : Bersama Ikhwanul Muslimin
The New York Time: Bersama Ikhwanul Muslimin |
Tadi pagi, ketika di Warnet, tak sengaja saya melihat headline The New York Times (NYT) online dengan judul yang cukup membuat saya tertarik: “Among the Muslim Brotherhood” dalam tulisan Multiply sahabat dan akakk yg Menginspirasi saya 'Pembuat Jejak'..
Awalnya saya kira, majalah Amerika yang berbasis di New York itu akan memberitakan sisi negatif dari sebuah organisasi Islam di Mesir yang sudah puluhan tahun silam berdiri namun oleh pemerintah Mesir dianggap sebagai organisasi illegal karena pergerakannya yang seringkali tidak sejalan dengan pemerintahan Hosni Mubarak. Organisasi Islam yang didirikan oleh Hasan Al Banna ini telah menginspirasi ribuan bahkan mungkin jutaan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Membaca paragraf demi paragraf dari artikel tersebut, membuat hati saya lega. Wartawan NYT yang menulis artikel tersebut menggambarkan bagaimana pertemuannya dengan salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin: Sobhi Sholeh, membuatnya cukup terkesan dengan organisasi pergerakan yang kini tengah mendapat sorotan hangat selama aksi protes rakyat Mesir terhadap rezim Hosni Mubarak.
Mungkin artikel ini menjadi menarik sebagai pandangan lain dari "barat", mengingat banyak negara barat pro-amerika yang sedang cemas apabila protes rakyat mesir nantinya berakhir dengan berkuasanya Ikhwanul Muslimin.
Beberapa penggalan artikel yang dituliskan oleh wartawan NYT tersebut antara lain:
"...Apa yang akan Anda bayangkan jika bertamu ke salah satu rumah seorang petinggi organisasi Islam? Tentu bukan gua-gua yang digunakan Osama bin Laden bersembunyi, namun bukan pula apartemen mewah dengan hiasan dinding berupa lukisan alam, lampu gantung yang indah, ataupun sekelompok bunga yang menghiasi meja untuk menyantap kopi. Apartemen Sobhi Sholeh lebih terlihat seperti ruangan tua yang sempit dengan bau terbakar dari penerangan di meja makan... namun ternyata ruangan sempit itu bisa digunakan untuk menjamu 30 orang..."
"...Ia (Sobhi Sholeh) adalah sosok yang sangat menawan. Sosok orang yang akan Anda jumpai dalam sebuah acara kemudian berjabat tangan dengan Anda dan tiba-tiba Anda menyampaikan pada semua orang bahwa: "Ia seseorang yang sungguh sangat baik..." tanpa Anda ketahui apa alasannya..."
"...Mungkin nama Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) lebih terkesan seperti nama untuk sebuah kelompok teroris radikal yang digunakan oleh seorang pengarang cerita fiksi. Kenyataannya, anggota organisasi ini sangat jauh kesannya dari penggambaran tersebut. Mereka berasal dari berbagai golongan masyarakat yang berlandaskan atas keimanan dan sedikitpun tak ada pada mereka gambaran tipe garis geras seperti Al Qaeda... dan Anda akan menjumpai mereka selama aksi protes berlangsung di Mesir, bersama-sama kelompok masyarakat menyapu jalanan dan mengarahkan lalu lintas*..."
*perlu diingat bahwa polisi mesir sudah banyak yang melarikan diri dari amukan massa yang sudah tidak menaruh respek terhadap kepolisian mesir...
"...seandainya polisi mesir mencari keberadaannya, ia akan selalu bisa dicari ditempat yang sama mereka menculiknya, di rumahnya yang sederhana dengan bau khasnya, ditengah buku dan keluarganya..."
Masya Allah...
Wallahualam...
Silakan membaca reportase wartawan Nicholas Kulish tentang pertemuannya dengan salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin, Sobhi Sholeh, yang baru saja keluar dari "penculikan" polisi Mesir.
Artikel aslinya di sini:
http://www.nytimes.com/2011/02/13/magazine/13FOB-WWLN-t.html
Among The Muslim Brotherhood
It is almost impossible to convince yourself that a band of young men holding machetes, pipes and two-by-fours have only your safety in mind when they stop your car. Even after the 20th checkpoint, your heart still beats faster, and that tingle ripples over you until one of the men pops up your windshield wipers, signaling for the next group down the road that your car has been checked.
This is what driving is like in Alexandria when the police have fled. We want to visit Sobhi Saleh, the former secretary general of the Muslim Brotherhood’s parliamentary group. When we tell the final cluster of youths that we are going to see him, there are murmurs of respect. We leave the car at a makeshift barricade and enter a canyon of high-rise apartment buildings on foot. The elevator fits only two at a time, so we split up for our ride to the 13th floor. On Saleh’s door is a small brass plate with Arabic script that reads, “Sobhi Saleh, attorney before the highest court.”
What do you expect when you visit a leader of a political Islamic group? Not bin Laden’s cave, perhaps; but neither do you expect a tasteful apartment with landscape paintings and three chandeliers in the living room and flower petals in a dish on the coffee table. Saleh’s apartment could be a tidy grandmother’s home, were it not for the incense burning in a holder on the dining-room table and the fact that the common room could seat 30 people.
We wait. Saleh has just got out of prison and wanted to take a shower. We do not wait long. “I haven’t taken a shower in five days,” he says on entering the room. “I needed water on my body after five days in the same clothes.” He is a distinguished 57, clean-shaven, with white hair, wearing an orange sweater and black flip-flops. He has a leopard tissue cozy: not a leopard-print container, but what looks like a toy stuffed animal around his tissue box. He is immediately engaging, the kind of person you shake hands with at a conference then find yourself telling people, “He’s such a nice guy,” without really knowing why. It has to do with the way he laughs at the absurdity, even the pain, of life as he tells his harrowing story of the past few days.
Not very many people in Egypt missed the events of Friday, Jan. 28, but Sobhi Saleh did. He spent Thursday evening working on a speech that he planned to give the next day. He went to bed at midnight, then woke at 1:30 a.m. to insistent knocking. When he opened the door, he was face to face with a plainclothes police officer. Two more in uniform, and then four more plainclothes men, followed the leader into the apartment. They insisted on looking through his library, in his bedroom; Saleh woke his wife and asked her to leave the room. The officers seized his laptop, searched briefcases, took some of his papers and then took him. “I closed the door to my daughter’s room,” he told me. “I didn’t want them to wake her.” He had been to jail before.
He had the impression the officers were in a hurry. There were two cars waiting downstairs. After questioning at a police station in Alexandria, he and two colleagues from the Brotherhood were taken on a desert road leading to Cairo.
As a lawyer, Saleh knew that they were not technically under arrest, knew that they had not been charged and that when they arrived they were not in a prison but on some security base. “Then we understood that we were kidnapped,” he explained. “We were not protected by anyone. This is a place where you are just kept.” There were 34 members of the Muslim Brotherhood from all over the country there. They slept on the floor. “They just locked the door and left,” he says. “We thought maybe someone would come and shoot us and leave us in the desert. No one knew about us. No one knew where we were.” It is striking how nonchalantly he says this. Sometimes people are taken from their homes, detained and killed, and no one ever knows. It is part of a pattern; the founder of the Brotherhood, Sheikh Hassan al-Banna, was assassinated more than 60 years ago.
The Muslim Brotherhood sounds like a fictional name a scriptwriter would give to a radical terrorist group. Its actual members don’t really fit that cartoonish characterization. They come across as civic-minded people of faith. There is none of the proselytizing or the menacing tones of hard-core Salafists — the Al Qaeda types. The Brotherhood might well have a more radical agenda than their public face suggested after the demonstrations began, but on that occasion you saw them out with neighborhood groups sweeping the streets and directing traffic.
On that now-famous Friday on which Sobhi Saleh planned to give his speech, the police moved in so quickly that some worshipers didn’t have time to put on the shoes they are required to leave outside. From our vantage point on the roof of an apartment building in downtown Alexandria, the tear gas made our eyes stream, made us gag and burned our lungs. (How on earth did people pick up the canisters spitting gas in their faces and throw them back?)
A battle played out below, riot police versus protesters, maybe 100 versus 300, respectively, but one side with body armor, helmets, shields, clubs and guns for shooting gas, rubber bullets and pellets. A man with a tear-gas rifle took a rock square to the helmet and began shooting the burning-hot metal canisters straight at protesters’ heads and torsos. Elsewhere one officer broke chunks of concrete into smaller, easier-to-throw pieces, while another collected them in a basket so gently it seemed as if he were gathering eggs.
For all the stone-throwing and tear gas, it seemed more like a protest than a revolution until we heard the sound of muffled chanting and then strained to see, through the haze of gas, thousands of Egyptian civilians making their way to the fight. It is hard to put into context, coming from a country not governed by laws that allow the arrest of groups of more than three people, what it means to see this kind of crowd in Egypt. Two days before, we followed 80 or so protesters around a poor neighborhood, everyone scrambling at the first sign of police. But here, now, were thousands, in just one of several protests in Alexandria and dozens across Egypt.
The emergency room at the general hospital didn’t look like an emergency room. It looked like a squalid waiting area with rubber-covered mattresses. Two men had been shot through their thighs. Another man had been shot in the upper arm, and the blood was seeping through his bandage. But it was the finger I could not forget: a man’s finger had been hit by a bullet and was coated with congealed blood. It jutted at a crazy angle. Hands are said to be the most expressive part of the human body after the face, a notion I never really understood until I stared at this man’s finger, untreated and unbandaged because so many more serious wounds required treatment first.
The morgue was worse, not so much because of the dead but because of the living come to claim them. The relatives of a young man who had been shot dragged us in, saying: “You have to see. You have to tell people.” A man slumped against the wall — a tall man with a mustache who seemed as if he was probably a skittish joker under normal circumstances. He said: “They went out. They had no guns. They were peaceful protesters, and they killed them.” Then he began to shake and to sob. He cried more intensely than I have ever seen a grown man cry. Our interpreter, Alia Mossallam, 29, was normally a buoyant person — at the clashes Friday she cheerfully brought out vinegar to help with the tear gas the way someone surprises the group with a bottle of Prosecco at a picnic, but she came undone when a mother asked her opinion about her dead son, “Isn’t he beautiful, just like I said?” Then the woman began making requests of her son, as if he were still alive: “Speak to me in your beautiful voice again. Tell me you are happy to see me.”
This was a result of the protests. There were 13 dead demonstrators in that one room. There were at least two more such morgues in Alexandria. There were dead in Cairo and in Suez. Where else? Were there dead people we would never learn about in the desert? Was Sobhi Saleh — a grandfather and lawyer who spent five years in Parliament until the winds shifted and he was once again the kind of person who could simply be kidnapped — among them?
At the security base, Saleh and the other brothers overheard two of the guards talking about the violent turn the demonstrations had taken. It made them all the more concerned that they might be killed. One of their number had already suffered what he thought was a heart attack. They banged and kicked and raised a great clamor until a doctor was brought. He survived.
They pooled the money left in their pockets to pay a guard to bring them food. Saleh wrote a letter. He demanded that they be charged. “So they said, ‘In two hours, we’ll tell you,’ ” he says when we meet. On Saturday night, they were taken to a proper prison, Wadi Natrun, on the road between Cairo and Alexandria.
They were each given a blanket and divided three to a cell. Later they heard a tremendous racket inside the prison, then gunshots. Tear gas began to seep into their cells. “We thought we were going to die,” he says. “We were locked in, and the gas came in, and there was no way to escape.”
The guards ran away, followed by the prisoners: the murderers and thieves, the hard-core Islamists. Saleh says that this last group felt just enough solidarity with him and his comrades to cry out: “Brothers! Brothers! The prison is on fire.” But they didn’t stop to try to free them.
Saleh pauses at this point in his tale: “We were all laughing. We said, ‘This is crazy!’ ” In his apartment on the 13th floor we all laugh, the driver, the guide, my colleague Souad Mekhennet and I, and the man himself. “ ‘Brothers! Brothers! The prison is burning,’ ” he repeats, imitating them.
The Brotherhood men lifted the smallest of their group up to the window to scream for help. The prison did not burn down, but it was only on Sunday morning that people from nearby towns came by and realized that people were still inside and brought hammers. It took three more hours before they were free.
They borrowed money and bought phones. They called Al Jazeera and told the station: “We are here in front of the prison. Does anybody want us?” Nobody came. Finally the men gave up on waiting for Al Jazeera, called friends and family to ask for rides and were driven home.
He interrupts his story to get the clothes he had been wearing, warning with pinched nose and waving hand that they smelled. In the silence that follows, we listen to the crackling of gunfire below in the street. While Saleh was detained, his country changed. The army is in the streets.
When Saleh returns, we ask when precisely he made it back to Alexandria. “An hour ago,” he answers. He holds up the tan sweater, the brown corduroys, the purple button-front shirt. It’s just what he grabbed when the police came. Between his return to Alexandria and his shower, he gave a speech standing on a yellow car, through a loudspeaker, to thousands of people in Saad Zaghloul Square: “I stood on the car and told the people we just got out of prison. I came to you from prison before I even entered my house. We did not run away. We will not run away.” He says they chanted “Long live Egypt” in response.
We realize that we have stayed long after dark, which we had planned not to do. We also have not asked our main question, which is why the Brotherhood seemed to be allowing Mohamed ElBaradei to speak on their behalf. “This is not a Brotherhood movement,” he answers. “This is a movement of the Egyptian people, without color, without any ideology.” Soon, Saleh will either be called upon to help guide a corrupt, unruly, poverty-filled country of over 80 million people, or he will hear the knocking on his door again in the middle of the night.
The drive back is slow going, with checkpoints on every corner. Each block has a different group of young residents defending their street. Rain begins to fall, and there is the sporadic sound of gunfire, but thousands are still marching, in defiance of the curfew. They have been marching for three straight days.
It is jarring to come back to the marble and gold lobby of the Sofitel Cecil, right on the grand coastal boulevard, to return to comfort and a vast buffet. Souad calls me from her room. She has been watching state television, and they are warning about hundreds of escaped convicts, including 34 members of the Muslim Brotherhood. If they want Sobhi Saleh, they can find him exactly where they did before, in his cozy home, redolent of incense, among his books and his family..
Gambar ke dua dari bawah : adalah pengakuan Ikhwanul Muslimin Atas Indonesia. Lambang paling bawah adalah Logo ikhwan
Sabtu, 05 Februari 2011
Titik Balik Kedewasaanku Bermula Dari 20 Menit Yang Lalu (Saturday/5 Feb 11-19.30 wib)
Assalaamu'alaykuum Wr Wb...
Bingung Dengan Judul Diatas?
Hmm...
Wajar....
Yap, Saya sendiri Juga tdk menyangkanya, Betapa Tuhan Azza Wa Jalla Sangat indah dalam Menciptakanku...
Sebagai Manusia, dan Makhluk Sosial Yg Luar biasa..
Sekali lagi, ini hanyalah sharing dari pengalamanku saja, Yang Mungkin..
BAGI kalian, itu remeh temeh...
Dan mungkin ada Yang berujar :"ahh, aku mah juga sering udah kek gitu... etc.."
But its ok..
Hmm...
Yak, diawali dengan aktifitasku..seperti biasa Daku ngantor di salah satu lembaga Bimbingan Belajar d Jogja... sebut saja 'Primagama' Pamungkas...
Nah biasa pula, aku datang dan bekerja minimal 4 jam..karena daku blm lulus Kuliah di Fisipol UGM...Meski lagi bekerja extra utk My Skripsi juga ni...
Nah, aku pulang Jam 16.30...Langsung daku menuju ke Tempat Yg Ingin Kutuju yg lain...
Rumah Pak Wodo..
Beliau adalah Pengusaha Konveksi di Kawasan Banguntapan Bantul, tepatnya Utara Markas Bus Akas Jalan Wonosari...
Alhamdulillah ada Job Utk Mem3san 5000 kaos dari Kampus adikku...
Lumayan lah, dapat untung dikit dikit ..kali 5000.
Nah,s elesai ber transaksi dan ngobrol utara selatan dg Bu Wodo selaku manajer Operasional Libas Production..Daku pun Berencana Utk makan..di angkringan..sebelah Timur Perempatan Ringroad Jl. Wonosari, sisi selatan Jalan sebelum perempatan...
*(Nah bingung Loe... But klo Wong Djogdja pasti ga bingung..biasaan siih...xixii)
Nah ada menu sate usus dan sate ampela kesukaanku, plus teh hangat n Gorengan...and tentu nya..nasi Kucingnya ^_^
Ga ada yg aneh disitu..
seperti biasa...Keramahan Wong Djogdja menghiasi, Pertanyaan.."saking pundi mas?" dan "monggo" pun renyah terucap...
asik nian jogja itu...warga lokalnya Ramah dan Care...
Ga seperti daerah Yg lain dan anak Kos yg sering mencemari adat d Jogja..dg ke Cuekkannya...
Nah Lalu..
Tidak Lama setelah itu, ada seorang kakek Kakek yang ujug ujug (Tiba Tiba datang) menghampiri...
DAN
Laa Ilaaha Illallah...
Itulah awal pertemuan Yang membuatku berbeda...
Mungkin mulai detik ini..ketika ku mengetik dari sebuah Warnet di Gowok Selatan Amplaz Jogja bernama 3 net.
Beliau bertanya : "mas semaki niku pundi nggih?"(mas Semaki itu mana ya?) sambil setengah menangis dan bertasbih selalu.... Astaghfirullah gitu Katanya...
saya pun Bingung setengah sadar...
Juga ibu ibu Yang jual angkringan...
Lalu ku jawab, "ooh Tebih mbah (oo Jauh mbah ) saking riki mangke teras mawon, wonten Perempatan RingRoad, mangke Simbah belok kanan teras mawon...Trs wonten Perempatan Ringroad Malih, belok Kiri "(dari sini nanti terus saja, ada per4an RingRoad nanti kakek belok Kiiri dan terus saja).."
Gitu kataku, terus simbah itu berkata : waduh gusti Allah, kok adoh tenan..aduhh haduuh astaghfirullah"..
Trs sy pun menanyai beliau sembari berdiri dan menjelaskan dg lebih detail...
Simbah itu pun makin haru dan bingung...
Entah apa yg terjadi, tau tau sontak saja ku bilang "lenggah riyen mbah, ngunjuk riyen monggo"... Trs simbah itu kutanya... "Griyo ne Pundi Mbah? teng riki kaleh sinten? Putrane pundi?" sambil pesen Minum satu lagii sama simbok yg Jualan itu...
Lalu "Nggih pun Mbah, mangke Kulo terke teng Griyo ne Jenengan, kulo tak nelaske le nedha rumiyen nggih, jenengan Ngunjuk2 Rumiyen"
Trs, setelah makan selelsai, saya bilang kalau harus pinjem Helm dulu, ke rumah Pak Wodo terlebih dahulu Karena beliau yg saya kenal terdekat dari situ, beliau juga tokoh di masyarakat sekitar..
Trs Simbah itu pun naik k Motor..
Sambil berkata, ngati ati nggih jenenngan..alhamdulillah..alhamdulillah...astaghfirullah...
Itu yg selalu diucapkannya....
Ksihan..sungguh kasihan..
(dalam hatiku, kemana anak anak beliau??) tapi itu Ku pendam dalam hatii..rapat rapat..Jauh Jauh...
Lalu ku sampai ke Rumah Pak Wodo, d temui oleh Bu Wodo dan langsung Ku Pinjem Helm satu, dan beliau pun kaget krn tahu Sy mau nganter Simbah tsb ke Sekitar Mandala Krida, tepatnya Semaki....
NahSetelah itu,
Lalu ku Antar bagai seorang ojek...ke tempat Tujuan..
d Sepanjang Jalan, bapak / Simbah itu selalu mengucapkan terima aksih padaku, menanyakan namaku dan mendoakanku..mengucapkan Hamdallah, Tasbih dan lain lain....
Luar Biasa batinkuu....
Mulia sangat Simbah ini..
Sepanjang Jalan, Beliau pun selalu menanyakan, "sampun dugi pundi mas niki, kulo niki lalen jhe mas.." (sudah sampai mana mas, saya itu pelupa).. selalu itu yg ditanyakan ketika saya masuk ke dalam Jalan yg berbeda atau per4an Jalan Besar...
Simbah itu selalu kebingungan..selalu seperti itu...
Akhirnya, sampai pulake SMU ku dulu, Yg sudah dekat dg Stadion Mandala Krida. SMU Muhammadiyah 2 Yogyakarta..Tempatku belajar dan Gila bersama temen2...
Karena bingung, Kutanya beliau pasti berubah jawabannya...
(ketika kutanya dekat dg Mandala Krida atau Taman makam Pahlawan) beliau Bilang dekat dg Taman Makam..setelah sampai sana, beliau Bilang dekat Mandala Krida...
T_T
Bingung ni hati..
Akhire ku tanya kan ke Tukang becak..
becak tsb Langsung menunjukkan arah, ooh nek bapakke rumahe sana mas (sambil nunjuk ke Arah semaki Kulon - Barat Mandala Krida)...Alhamdulillah batinku..lalu kutanya Nama Kakek Tsb dan beliau menjawab namanya "pak Budi"
Akhirnya sampai juga di daerah Yg d Tuju, lalu Ku bertanya Pada Ibu Ibu yg jualan, Mereka langsung Menyuruh saya berhenti dan menurunkan Bapak itu..
Saya pun kaget..krn Rumahnya Blm ketahuan..
Lalu blm sempat ku bertanya pada ibu itu, Simbah itu menyalami saya..matur nuwun mas, sugeng mas nambah sedhulur kulo..Trs ku meminta doa Simbah kakung itu u mendoakan Kuliah ku, Kesehatanku dan REzeki ku..dan Bapak itu mendoakan dg cara yg takjub sampai hati ini mau menangis..
Dan yg lebih menyayat hatiku ada;lah cerita Ibu tetangga nya tsb,
Yg berkata : "Mas pun dugekke teng riki mawon, bapakke niki nggih ngoten biasane.." (Mas turunkan saja, Bapaknya ini emang biasanya gini)..
Trs saya bertanya " Lah griyane pundi bu?"
Ibu itu berkata: "Bapakke ki pikun mas, anakke mung siji we ra nggenah, turune sak turu turu ne" (Bapak ini pikun mas, anaknya cuma satu dan tidak karuan, tidure (anakke) ya se tidur tidurnya)" Y Alloh Kataku...
Terus Akhirnya Kutitipkan Bapak itu ke Warga Yang akan mengantarkannya ke MAsjid atau Musholla utk beristirahat...
Daku pun memesankan minum utk Bapak Tersebut sambil nanya nanya dan Titip Pd warga sekitar semaki yg memang sebagian sudah tau dg Bapak2 itu, dan tahu nya Bapak2 itu dulu memang pernah ngontrak k Rumah Warga 2 Thn, namun sdh tdk lagi dasn hidup Menggelandang...
MasyaALLoh,,,
Betapa Nestapa nya beliau Yg menganggapku Seperti anaknya sendiri dan ketika d Pjalanan Banyak berkata sperti itu...
Saya Pun berfikir..dan merenung...
Apa Hikmahnya...??? Apa Ibroh nya???
Luar Biasa...
Ku tahu, saka tlah d temukan oleh Malaikat penghuni Bumi yg d Turunkan Tuhan Yg tlh merubah Keadaanku , cara Berfikirku, Kesombongan ku dan apa apanya...
Malaikat itu, Ya Simbah itu..,
InsyaAlloh akan Ku cari tahu Cara mendaftar ke Dinas Sosial DIY dan Membawa Bapak itu ke Dinas..
--------------------
Dari Kejadian Sesungguhnya, Beberapa Waktu Yg Lalu...
Sabtu 5 Februari 2011, Menulis 20.15 wib Utk kejadian Pukul 17.30 tadi...
*Apa Makna dan Ibrohnya nya Sahabat???
<=> Anda berkata, Bahwa saya ini aneh, pengen dihargai atau Congkak? Mungkin Begitu...
Tapi saya akan menganggap anda aneh...
Karena apa? Inilah kita !!
Inilah kita Yang Sombong...
Kadang, Kita cuek melihat hal Yang kita anggap Sepele...
Kadang, Kita sibuk akan Ibadah Kita sendiri..Sholat sendiri, ke Gereja sendiri, Ke Pura sendiri dsb..
Kadang, Kita bersikap kita lah Ahli Surga, dan Tak Butuh Orang Lain...
Tidak Kawand...
Sebagai contoh Kecil, karena saya seorang Muslim..
)( Begitu Banyak dari kiita yg Secara Fisik dans emoga secara Hati juga.. sudah mencerminkan Muslim sejati (terlepas dari apapun itu), Dengan Baju khas Pak Haji, Janggut dan Brewok dsb..
Namun utk Menyapa Simbah Simbah saja, enggan atau Dalam Niaga, Msaih banyak diantara Kita dan Saudara kita yang Utk senyum saja sangat sulit...
Emang? Apa susahnya Senyum...
Senyum lah, Sapalah Salam lah..
Pada siapapun...
Pada Rekan, Temen Gentho, Simbah2 Yg lewat, anak anak, temen2 remaja dan temen2 kampung, siapapun juga, baik yg d katakan Mahrom atau bukan (maaf saya bukan ahli agama sebagaimana yg lain).. Namun utk sekedar menyapa, berbuat baik, menanyakan kabar keluarga dsb...
Jika itu ada, Maka Jiwa sosial Pun akan menyerap pada masyarakat sahabat sekalian...
Kenapa Itu susah?
Karena kita sudah ter fokus dg Komunitas Kita..komunitas Religius Kita, sehingga berbagai dogma dan pola fikir yg berbeda (yg seringkali, kita merasa kita yg terbaik-meski amat tdk kita sadari) dan menjadikan kita seolah olah terpisah dg Masy yg kadang malah Lebih Care daripada kita...Yg seharusnya kita lah Juru selamat Dunia, Umat Yg terbaik...
Namun dari segi sosial Masih banyak yg Hrs Kita perbaiki..
Nyuwun Pangapunten Jika Tidak Sependapat,,
Saya tdk suka berdebat keras, Tdk Suka ber keras Hati, Tdk Suka berperang Dalil Yg kadang Justru membuat Kita Malah Sombong Yang Sering terlupakan Esensi nya...(Berbeda saat kita bertanya Utk landasan Hukum ya)..
Tapi, Klo d Inget...
Alhamdulillah Bener di beri hari ini Oleh Tuhan Yg Maha Pengatur, maha Hebat...
yang Jika bisa Ku ambil Gambar tadi sore, Kuingin ambil sebagai Kenangan atas Ibroh Luar Biasa ini
i love my God, i love my self
Akhirnya Ku simpulkan,
*Kedewasaan Itu,
Berawal Dari Kepekaan Sosial Yang Tinggi Dan Pengertian
Dan Rasa Itu Hanya Akan Dapat Kita Miliki Saat Kita Senang Melakukannya Dg Hati
Wassalaamu'alaykuum wr wb
Klasifikasi :
Goresan Hati,
Saka Jogja
Kamis, 03 Februari 2011
Motivasi Hidup
Pesan dalam kumpulan kata-kata mutiara Motivasi Hidup ini tidak akan pernah menyentuh jiwa yang kerdil, pemalas, pesimis, mudah patah semangat, tidak percaya diri, serta tidak memiliki cita-cita!
-salam Sukses, Slaam Jogja...- sakajogja.blogspot.com...
1. Hanya mereka yang berani gagal dapat meraih keberhasilan (Robert F. Kennedy)
2. Setiap pria dan wanita sukses adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka berimajinasi tentang masa depan mereka, berbuat sebaik mungkin dalam setiap hal, dan bekerja setiap hari menuju visi jauh ke depan yang menjadi tujuan mereka (Brian Tracy)
3. Percayalah pada keajaiban, tapi jangan tergantung padanya (H. Jackson Brown, Jr)
4. Rayulah aku, dan aku mungkin tak mempercayaimu. Kritiklah aku, dan mungkin aku tak menyukaimu. Acuhkan aku, dan aku mungkin tak memaafkanmu. Semangatilah aku, dan aku mungkin takkan melupakanmu (William Arthur)
5. Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)
Langganan:
Postingan (Atom)