Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 April 2014

Kritikan Nurmilaty Abadiah Kepada Menteri Pendidikan Nasional (Copas dari tetangga)

Kasus perjokian ujian nasional (unas) tingkat SMA marak terjadi di Surabaya. Kasus ini menjadi keprihatinan Nurmillaty Abadiah.

Melalui akun facebooknya, Nurmillaty yang mengaku sebagai pelajar SMA Khadijah Surabaya ini mengungkapkan beragam kritiknya. Tidak hanya tentang kasus perjokian, dia juga mengkritisi kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Mohammad Nuh.

Berikut surat terbuka yang buat Nurmillaty kepada Mendikbud:

Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara

Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,

di tempat.



    16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…


    a. terpaksa


    b. terpuji


    c. tercela


    d. terbiasa


    Ardi berhenti di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…

    Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas dalam-dalam begitu membaca isinya.

    Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak? 

    Barangkali bukan kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia mengirim sebaris kalimat yakin…

    Nggak, Jo, aku mau jujur aja.

    Sebuah balasan pahit mampir selang beberapa detik setelahnya,

    Ah, cemen kamu.

    Tapi tidak, Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah, Jo.   

    Jujur itu keren.

UNAS. Sebuah jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UNAS sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil 'memaksa' pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.

Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:

"Bagaimana dengan kecurangan UNAS?"

Ah, ya, UNAS memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.

Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yang punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yang menyedihkan? Yang paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat 'kejujuran adalah kunci kesuksesan' itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketidakjujuran yang simpang-siur di berbagai media.

UNAS dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa 'UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan', dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.

Tetapi sekarang, sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS... dengan berat hati saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin penting...

Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?

Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.

Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya, menyimpang dari SKL.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?

Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.

Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...

Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?

Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?

Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?

Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?

Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?

Etiskah menuntut sebelum memberi?

Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?

Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas...

Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki.

Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.

Iya langsung bersih cling begitu, toh?

Nyatanya tidak.

Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.

Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?

Tidak.

Tentu saja Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.

.........

Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.

Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?

Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.

Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.

Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?

Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja hasilnya nanti."

Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?

Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...

Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya. Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?

(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)

UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.

Kejujuran itu awalnya sakit, tapi buahnya manis.

Dan saya tahu itu, Pak.

Tapi bukankah Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?

Bukankah satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu kebenaran pasti akan menang?

Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan?

Kejujuran itu awalnya sakit, buahnya manis.

Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak.

Kami yang berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah, Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...

Dari anakmu yang meredam sakit,

Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.


Sekadar diketahui, tulisan Nurmillaty ini mendapat perhatian besar dari pemilik akun lain. Saat ini, catatan Nurmillaty telah dibagikan (share) oleh 334 akun facebook lain. Beragam komentar juga terlontar. Mayoritas mengkritik pelaksanaan unas. 

Source :https://www.facebook.com/notes/nurmillaty-abadiah/dilematika-unas-saat-nilai-salah-berbicara/10152134575249926https://www.facebook.com/notes/nurmillaty-abadiah/dilematika-unas-saat-nilai-salah-berbicara/10152134575249926

Bisa juga cek Twit saya yang ditujukan pada Menteri pendidikan :


Senin, 25 November 2013

Bahagia --- Sebuah Inspirasi kah ?

Seorang pemuda berangkat kerja dipagi hari .. Memanggil taksi dan kemudian naik taksi itu ...

"Selamat Pagi Pak" , ... katanya menyapa sopir taksi terlebih dahulu ..

"Pagi yang cerah bukan ??"
sambungnya dengan setrsenyum .. lalu bersenandung kecil ...
Sang sopir senang dan tersenyum melihat keceriaan penumpangnya, dengan senang hati , ia melajukan Taksinya ...

Sesampainya ditempat tujuan ... pemuda itu membayar dengan selembar uang 20 ribuan, untuk argo yang hampir 15 ribuan ...

"Kembalinya buat bapak saja ... Selamat bekerja Pak" ... Kata pemuda itu dengan senyum ..
"Wah , terima kasih banyak" .. Kata Sopir Taksi dengan penuh Syukur ...

"Wah aku bisa sarapan dulu nih " ...
Pikir Sopir taksi itu ..
Dan dia pun menuju ke sebuah warung makan sederhana.

"Biasa  Pak?" Tanya simbok penjual di warung.
"Iya biasa, nasi sayur .. Tapi .. Pagi ini tambahkan sepotong ayam " .. Jawab Pak Sopir dengan senyum.

Dan ketika membayar nasi, Bapak tersebut menambahkan seribu rupiah ..
"Buat jajan anaknya mbok" begitu kata pak Sopir ...
"Terima kasih ya pak " .. Kata SI mbok penjual nasi ..

Dengan tambahan uang seribu tadi, pagi itu anak si mbok berangkat sekolah dengan senyum lebih lebar ..

Ia bisa membeli 2 roti pagi ini ... Dan membagikannya pada teman temannya di sekolah yang tidak punya bekal.

Begitulah cerita ini bisa berlanjut ..
Bergulir .. Bergulir seperti bola salju ..

Pak sopir bisa lebih bahagia pada hari itu ..
begitu juga keluarga simbok ...
Teman teman si anak simbok ...
keluarga mereka ...
Semua tertular kebahagiaan ...
KEBAHAGIAAN itu sebuah PILIHAN ...
Siapkah KITA menularkan kebahagiaan hari ini ??

Bisa menerima itu adalah berkat ..
Tak bisa menerima itu adalah anugerah ...

Semoga sisa hidup kita bahagia DAN membuat orang lain bahagia dengan keberadaan kita,

Semangat pagi Sahabat yang bijak, Ayo guys selalu berbagi ...
Walaupun itu hanya berbagi senyuman dan rezeki sedikit yang kita punya ...

==========================*****************============================



 -Sj-
untuk inspirasi hari ini

Menyadur dari Joe :)

Selasa, 26 Maret 2013

Ga Usah Ke JOGJA Kalau Hanya Mau Bikin Rusuh

Tak Usah Basa Basi ..
ini Adalah Ketegasan Warga Jogja Yang Selama Ini Damai dan Toleransi Tinggi ..
Karena Ulah Beberapa Orang Dari Luar Yang Tidak Menghormati Kearifan Lokal Budaya Masyarakat Yogyakarta Yang Adiluhung , Menjadikan Beberapa Tempat di Jogja Sering Terjadi Ketidaknyamanan ..

Yang Mau Niat Kuliah di Jogja, Belajar Yang Bener !!
Jangan Bikin Rusuh !!

Kasus Terakhir Adalah Pembunuhan Anggota Kopassus di Jogja Oleh Sekelompok Orang Dari Suku dan Daerah Tertentu di luar Jogja ..
Yang Mengakibatkan Adanya Upaya Balas Dendam dari Kesatuan terkait ..

Yang Niat Mau Belajar, Mau Mencari Saudara SILAKAn Ke JOGJA ..
Yang Niat Mau Rusuh , GA USAH KE JOGJA !!


Muak kami dengan Sikap Arogan KalianSelama Ini ...
Kami Sudah Sangat Toleran dan Welcome serta Mengalah Dalam Banyak Hal ..
Hargai itu, Jangan Bikin Malu Nama Kalian Sendiri

Ini JOGJA , Bukan Daerah Kalian !!
Jangan Seenaknya ..

Dimana Kamu Berada Disitu Langit Dijunjung kan?

Rabu, 13 Maret 2013

I dont have much time left

Sedih Mendadak ..
Sangat Malah .. Setelah Melihat Prestasi Teman Teman Sebaya Yg Extravaganza..
Mencoba Merenung Lagi , Menghampakan Diri ..

Sudah 25 Tahun , dan Sepertinya, Sangat Belum Maksimal Dengan Pencapaian Yg Ada ..
Kayaknya Mau Keluar Nih Air Mata, Ketika Sadar, Seperempat Abad dan Belum Mampu Membahagiakan Bapak Ibuk ..
-*-
I dont have much time left


Selasa, 12 Maret 2013

Siapa Teman Sejati Kita ?? Dalam Bisnis.

Saat Kamu SUKSES dan Berada di Puncak. Kamu akan Tahu Banyak yang ingin Jadi TEMANMU.
Saat Kamu Ada di Bawah ATAU saat Kamu Membutuhkan, Kamu Akan Tahu Siapa Teman Temanmu.
 

~*~
Begitu Pula dalam Bisnis Guys ..
Ketika kita sedang mendapat ujian yang seringnya adalah Ujian Finansial , berapa Teman yang kita minta tolong? Ini tentu setelah kita mengerti kekuatan finansial mereka masing masing. Kebanyakan dari mereka akan berkata tidak ada atau sebagainya. Yang pada intinya adalah tidak mau membantu, meskipun mengerti kemampuan mengembalikan dari kita misalnya.

Bagaimana jika keadaan sebaliknya?
Saat kita dalam kondisi Puncak? Pasti banyak yang berbaik kepada kita, secara instan malah. Right??

Nah, Dari Pengalaman Saya sendiri, Kita akan tahu, siapa kawan kita Yang sebenarnya , di saat Kita sedang terbenam dalam Ujian

Mengapa dokter Negara Maju "Pelit" memberi Obat?

Alasan Dokter Negara Maju "Pelit" Memberikan Obat ke Anak
Belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dr. Knol.

"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.

"Ha? Just wait and see?" batinku meradang.
Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,
"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau!

Setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
"Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39 derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!"

Sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis. Tibalah saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama. Banyak negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng, kami mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisart.

"Just drink a lot," katanya ringan.

"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.

"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak."
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme dan madu.

Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.

Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit.
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?"

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."

"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,"

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.

Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
"Batuk - pilek beserta demam yang terjadi 6 - 12 bulan masih wajar.observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun."

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan penanganannya, Pertama, obat diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda 'dipaksa' tak pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih baik. Mereka jarang sakit.

Aku tercenung mengingat 'pengobatan rasional'. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara termasuk Amerika Serikat,dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen tersedia di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama anak demam.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan ketidakmampuan,penyakit anak sehari-hari, orang desa relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar,cukup berduit,melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya.Kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum

Semoga mencerahkan ya bunda-bunda, saya dapetnya dari artikel suami..

Sumber: http://ibuhamil.com/

 -*-*-*-*-

Artikel ini saya dapatkan di Media FB teman, semoga bermanfaat 

Kamis, 31 Januari 2013

Cerita Ku Nanti

Nanti ...
Disaat Mobil Ada di Halaman depan, Sambil membaca Koran dan Minum Kopi Hangat Buatan Istri setelah berenang di kolam renang belakang rumah, Sambil Melihat Laporan Pemasukan Jogja Mandiri Grup-Blankon Grup serta Bisnis Yang lain, senyum Melihat Foto di album Umroh, Lombok, Eiffel, dan Salju di Jerman dan Jepang ..

AKAN ADA SAATNYA Ketika Aku Begumam,

"MasyaAlloh, ini dilalui dengan perjuangan Panjang...TERAMAT tak Mudah.. Dan diawali dengan perjuangan Keras dibulan Januari-Maret 2013, Terimakasih Ya Rabb,Engkau Hadiahkan smua ini padaku"
 
 
 
InsyaALLoh 
 






 











InsyaAlloh ...
Bisa  ...  Sepasti Pasti BISA !!!
 



 

Rabu, 22 Februari 2012

SETELAH MENIKAH SATU BULAN DUA MALAM TIBALAH KEJUTAN ITU !

Percakapan antara dua sahabat:
Dia berkata: “Setelah kami menikah satu bulan dua malam, aku mengalami hal yang sangat mengejutkan ….
Aku masuk menemuinya malam ini …
setelah kami menikah satu bulan dua malam ….
aku mendapatinya ….”
Akupun berkata: “Tenangkan dirimu. Bagaimana engkau memilihnya? Apakah sebelumnya engkau telah mengetahui agamanya?”
Dia menjawab: “Aku tidak mengenalnya sedikitpun. Hanya saja saudara-saudaraku merekomendasikannya untukku.
Dia berasal dari kota yang jauh dariku.
Namanya Aisyah. Nama yang langsung membuatku tertarik ketika mereka menyebutnya untukku.
Ketika aku pergi melamarnya, ketika itu sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Aku telah shalat istikharah.
Akupun musafir ke negerinya yang jauh. Aku menahan berat safar di kala puasa.
Aku ketuk pintu rumahnya, keluarlah kakaknya yang telah janjian denganku sebelumnya.
Dia menyambutku dan akupun masuk.
Waktu itu sebelum magrib kurang sedikit, ternyata ayahnya tidak ada di rumah. Mereka bilang ia sedang i’tikaf di masjid.
Subhanallah, ini sesuatu yang baik!
Kami shalat isya’ dan tarawih bersamanya.
Kemudian kakaknya memperkenalkan aku kepadanya: “Ini fulan, yang ingin melamar Aisyah.”
Ayahnyapun menyambutku.
Aku ingin memulai pembicaraan secara rinci namun ayahnya mendahuluiku berkata: “Saat ini, aku tidak bisa berbicara lebih jauh tentang masalah ini.”
“Kenapa?”
Jawabnya: “Waktu tidak mengizinkan.”
“Maksudnya?”
“Aku sedang i’tikaf. Malam-malam ini hanya untuk dzikir, ibadah dan membaca Al-Qur’an.”
Aku katakan: “Kalau begitu izinkan aku melihatnya.”
Dia menjawab: “Itu hakmu dan itu adalah sunnah.”
Lalu dia memintaku agar jangan lagi menyia-nyiakan semenitpun dari waktunya. Lalu dia tersenyum dan beranjak menuju salah satu sisi masjid.
Aku kembali lagi ke rumah mereka.
Di jalan, dengan malu-malu aku bertanya kepada kakaknya: “A..apa..kah ukh..ti Aisyah banyak menghafal Al-Qur’an?”
Dia menjawabku dengan penuh perhatian: “Menghafal itu tidak penting, yang penting adalah mengamalkan Islam.”
Aku tidak tahu, apakah aku harus bertambah bahagia ataukah bertambah heran.
“Aisyah, keluarlah.”
Aku menghadap ke arah kamar … ternyata dia tidak menundukkan pandangannya … namun aku berpura-pura menundukkan pandanganku.
Kakaknya pun langsung menegurku: “Ini bukan tempatnya menundukkan pandangan.”
Kembali aku tak tahu harus bagaimana: bahagia atau bertambah heran.
Tanda tanya dan keheranan tak membuatku lupa memandangnya dengan dalam.
Terus terang dia cantik.
Aku bertanya padanya: “Ukhti, berapakah engkau hafal dari Al-Qur’an?”
Dia menjawab: “Juz ‘Amma.” Kemudian dia pamit dan pergi.
Aku berkata pada kakaknya dengan menahan rasa kesal: “Kenapa dia tidak duduk bersama kita?”
“Agama hanya membolehkanmu untuk melihat” jawabnya.
Dia tidak membiarkanku untuk berfikir, dia langsung berkata padaku: “Jika engkau sudah setuju, tolong jangan sia-siakan waktu kami.”
“Kita belum menyepakati apapun, aku belum mendatangkan keluargaku. Kita juga belum melewati waktu yang cukup untuk berkenalan.”
Dia berkata sambil menundukkan kepalanya: “Tuan, mari kita sepakat dan datangkan keluargamu. Apa yang engkau maksud dengan waktu yang cukup? Apakah engkau datang kesini tanpa ada kepastian dari kami?”
Dia berkata lagi: “Kami tidak ingin engkau susah payah menyiapkan sebuah rumah, kesederhanaan yang perlu. Adapun masalah mahar, engkau tahu bahwa mahar yang sedikit lebih berkah. Cukup datangkan keluargamu sekali, kemudian berikutnya pernikahan. Dengan demikian kami menghemat pengeluaranmu.”
Kakanya yang lain memotong pembicaraan dan berkata: “Mari kita tidur biar kita bisa bangun sebelum subuh untuk tahajjud.”
Aku berkata sambil tersenyum tanpa sebab: “Kalian memiliki televisi kan?”
Dia berkata padaku sambil bercanda: “Jangan keras-keras, biar tidak didengar oleh calonmu.”
Sungguh pemandangan taat beragama yang sempurna.
Tapi, kenapakah tidak bicara tentang segala sesuatunya dengan rinci?
Kenapa semuanya dipercepat?
Mungkin karena tidak mau menyusahkan aku ……

* * *
Akupun datang bersama keluargaku … kecuali ayahku, dia menolak ikut dengan keras, katanya: “Putri-putri pamanmu lebih pantas untukmu.”
Lalu dia berkata sambil menutup pembicaraan: “Pergilah untuk wanita yang maharnya sedikit dan biayanya tidak banyak. Ajaklah ibumu.”
Akupun pergi bersama ibuku dan ibuku membuat Aisyah kagum.
Aku bertanya kepada ibuku: “Apakah Aisyah ada menyinggung tentang hafalan Al-Qur’annya?”
Ibuku menjawab: “Tidak, demi Allah … Cuma aku mendengarnya berkata kepada adik perempuannya: “Malam ini insya Allah aku menyimakmu mengulang ayat-ayat yang mirip dalam surat Al-Ma’idah.”
Bumi ini terasa berputar … dia bilang padaku dia hafal juz Amma. Apa dia hanya berpura-pura di depan ibuku? Atau dia lupa ucapannya padaku?
Aku putuskan untuk mengirim sms ke kakaknya untuk memberikanku jawaban atas segala kebingunganku selama ini, terlebih mereka menolak kami datang untuk kedua kalinya dengan alasan tidak ada tuntutan untuk itu.
Ayahnya berkata kepadaku dengan ringkas: “Anakku, kami ingin ada seorang lelaki yang melindungi putri kami. Kami tidak ingin menekanmu dengan materi dalam hal apapun. Kami juga tidak senang orang sering keluar masuk rumah kami, siapapun itu. Segeralah menikah. Datanglah dan tidak usah memikirkan biaya. Aku telah putuskan untuk mengeluarkan sendiri biaya persiapan Aisyah agar tidak memberatkanmu. Anggaplah itu hadiah dariku.”
Aku berfikir untuk mengulang istikharah … dan akupun melakukannya.
Aku bertanya pada ibuku: “Bagaimana pendapat ibu tentang mempercepat proses pernikahan seperti permintaan mereka?”
Ibuku menjawab: “Tanyalah ayahmu.”
Ayahku berkata: “Anakku, kita sekarang ini hidup di zaman yang penuh dengan keanehan. Sepertinya engkau harus menyegerakannya agar segala keanehan itu lengkap.”
Aku berkata: “Apanya yang aneh? Bukankah kebajikan yang paling baik adalah yang paling segera?”
Ayahku tertawa mengejek: “Kebajikan … yakni keburukan yang nyata.”
Aku berkata: “Tapi kami hanya mengetahui kebaikan dari mereka. Apa tidak cukup ketika ayahnya menawarkan segala sesuatu yang telah kusampaikan kepada ayah?”
Ayahku menjawab dengan penuh kepercayaan diri: “Hal seperti ini tidak dilakukan oleh ayah pengantin wanita melainkan jika ada sesuatu di balik semua itu.”
Aku berkata: “Kenapa hal seperti itu tidak bisa menjadi kebaikan?”
Ayahku menjawab dengan tegas: “Zaman para nabi telah lewat.”
Air mataku meleleh … kebingungan dan kegelisahan merayapiku … apa sebenarnya ini …
Semua keshalihan yang aku lihat …
Akhlak yang aku baca dalam kitab-kitab …
Namun, ini keshalihan yang asing yang tidak biasa kami temui … seakan semuanya berlebihan.
Ayahku yakin ada sesuatu di balik keanehan ini.
Namun aku yakin dengan Aisyah … selama ayahku tidak menentang dengan keras, ini pertanda aku bisa melanjutkan proses.
Namun, ini butuh istikharah lagi …

* * *

Pada malam pengantin, aku masuk menemuinya …
Setelah perjalanan yang melelahkan bersama …
Aku mengucapkan salam … lalu ia membalasnya sambil tersenyum …
Sungguh dia mampu menyihir … dia ceria bersama bekas-bekas perjalanan yang melelahkan …
Kuletakkan telapak tanganku di ubun-ubunnya:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فَطَرْتَهَا عَلَيْهِ . . .
Aku mendengarnya berkata:
جَبَلْتَ …
Seakan dia mengoreksi bacaanku … akupun meralat kesalahanku … lalu aku menyempurnakan doa nabawi tersebut agar aku menerapkan sunnah dengan sempurna.
Kuturunkan tanganku …
Setelah doa tersebut, kalimat pertama yang meluncur dariku adalah sebuah pertanyaan lucu …
“Berapa engkau hafal dari Al-Qur’an?”
“Semuanya, Alhamdulillah” jawabnya.
Akupun berkata dengan nada protes seolah aku mencelanya: “Bukankah dulu engkau bilang engkau hafal juz Amma?”
Dia menjawab: “Aku hanya menyindir dan aku tidak bohong. Hari itu adalah hari lamaran, aku tidak tertarik untuk menghiasi diriku di hadapanmu.”
Aku gemetar dan dia memegang tanganku lalu berkata: “Malam ini bukan malam untuk menyalahkan dan mencela … mari
وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ …

* * *

Sebulan berlalu …
Kami tidur setiap malamnya setelah isya’ atau kami bergadang beberapa waktu …
Kami tidur hingga dekat waktu subuh …
Jarak antara kami bangun tidur dengan waktu subuh hanya seukuran waktu wudhu’.
Selama itu tidak pernah dia shalat malam ataupun puasa sunnah … tidak pula shalat sunnah …
Kesibukannya hanya berhias, mempercantik diri, memakai wewangian …
Tidak pernah sekalipun dia membangunkanku untuk shalat malam …
Tidak pernah sekalipun dia mengusulkan agar aku menjenguk ayahku atau saudari-saudariku atau kerabat-kerabatku …
Hingga tiba malam itu …

* * *

Aku telah melewati cuti yang diberikan dan aku harus pulang …
Lalu aku dikejutkan oleh sebuah tugas yang mengharuskanku musafir selama dua hari …
Dan aku harus patuh …
Aku beritahu dia tentang kepergianku …
Namun aku bilang padanya bahwa bisa jadi aku pergi tiga hari, agar jika aku terlambat dia tidak gelisah. Namun ternyata tugasku selesai tepat waktu dan tidak butuh waktu tambahan.
Aku pulang dan sampai di rumahku sekitar satu jam setelah isya’.
Aku mengetuk pintu dengan lembut, namun tidak ada orang …
Aku berkata dalam hati: “Mungkin dia tidur.” Aku tidak ingin membuatnya terbangun.
Aku memasukkan kunci ke lubangnya dengan pelan …
Lalu memutarnya dengan hati-hati …
Aku membuka pintu dan masuk …
Aku membaca bismillah dan mengucapkan salam dengan lirih tanpa bisa didengar orang lain …
Aku tutup pintu dengan tenang …
Lalu aku segera menuju kamar tidurku …
Ketika aku berjalan mendekati kamar tidur aku mendengar suara nafasnya yang seolah tengah menghembuskan nafas-nafas terakhir … siselingi tangisan dan isakan …
Apa yang sedang terjadi?!
Aku mendekati pintu kamar … ternyata tidak tertutup rapat …
Aku memutar gagang pintu …
Ketika aku masuk aku menyaksikan sesuatu yang tidak aku sangka-sangka … pemandangan yang tidak terlintas dalam benakku …
Aisyah … istriku … tengah sujud menghadap pintu …
Bersimpuh di hadapan Allah …
Menangis di hadapan-Nya …
Menangis dan terisak …
Berdoa dan terguncang …
Dia terus sujud … lama …
Kemudian dia bangkit … pintu di arah kiblat … dia menyadari keberadaanku .. lalu dia sujud kembali namun tidak memanjangkannya … lalu dia duduk dan salam …
Dia segera menujuku, menyambutku, sedang aku tak kuasa menahan tangisku …
Betapa aku anggap kerdil diriku di hadapan wanita yang menangis dalam sujudnya yang tengah mendekatiku ini …
Dia letakkan tangannya yang lembut di dadaku … lalu kami duduk bersama … seolah aku terlahir kembali …
Suaranya yang lembut menyadarkanku: “Kemana saja engkau pergi?”
“Aku pergi demimu … aku pergi menujumu … namun sungguh aku takkan pernah pergi darimu.”
Kupandangi ia … wajah yang menyihir dan bersinar …
“Aisyah, semoga Allah memberkahimu … akhlak yang aku saksikan malam ini tidak pernah aku saksikan selama sebulan ini. Hingga berbagai prasangka muncul di benakku.”
“Akhlak yang mana?”
“Shalat malammu … tangisanmu … dan …”
Dia memotongku: “Suamiku tercinta, apakah engkau menungguku shalat malam di malam-malam pengantin kita? Sesungguhnya puncak ibadahku kepada Allah pada masa yang telah lewat ini adalah aku mendekatkan diri kepadamu, aku berhias untukmu, aku mempercantik diri untukmu … agar engkau tidak melihat bagian diriku melainkan engkau menyukaiku karenanya. Inilah ibadah paling utama yang bisa dilakukan oleh seorang istri di masa awal pernikahannya.”
“Tapi … tapi, engkau tidak pernah menyuruhku untuk ziarah atau silatur rahim selama ini.”
Dia tersenyum: “Bagaimana aku bisa menganjurkanmu untuk itu sedangkan syaitan mengalir bersama aliran darah dalam tubuh manusia …
aku tak mau syaitan menggodamu dan mengatakan bahwa aku hanya ingin jauh darimu meski hanya sesaat.
Namun ketika engkau ziarah dan berbuat baik pada kerabatmu aku merasa bahagia dalam hati dengan perbuatanmu. Namun aku tidak menampakkannya.
Ketika engkau musafir aku menyadari bahwa kehidupan biasa telah dimulai. Maka akupun kembali menjalani hidupku seperti biasa seperti ketika aku belum menikah.
Dan mulai sekarang … bersiap-siaplah untuk bangun shalat malam …” (sambil dia tertawa penuh kasih).
Jika tidak … aku akan menyiram wajahmu yang tampan dengan air dalam gelas ini.”
Dia menarik nafas dalam-dalam …
Lalu melanjutkan ucapannya: “Tapi aku punya kritikan atasmu …”
“Apa itu?” kataku.
“Ketika engkau musafir dan setelah itu kembali dengan selamat … usahakan menemui kami di siang hari, bukan di malam hari.”
“Kenapa?”
Dia berkata: “Inilah adab nabawi bagi orang yang musafir.
Bukankah Nabi g bersabda:
إِذَا رَجَعَ أَحَدُكُمْ مِنْ سَفَرِهِ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلاً حَتَّى تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ
“Jika salah seorang dari kalian pulang dari safarnya, maka janganlah dia menemui istrinya pada malam hari, agar dia bisa berhias terlebih dahulu.”
Aku berkata – dan sungguh hadits itu telah membuatku malu – : “Wanita yang rambutnya kusut dan wanita yang ditinggal pergi suaminya?”
Dia menjawab: “Ya. Yaitu wanita yang tidak memperhatikan penampilan dirinya pada waktu suaminya pergi. Inilah yang harus dilakukan oleh seorang istri yang shalihah dan amanah. Dia hanya berhias untuk suaminya. Ketika suaminya pergi dia tidak berhias sama sekali karena tidak ada faktor pendorongnya. Seandainya suami pulang siang, tentu dia punya waktu untuk berhias.”
Aku menghela nafas … aku berkata dalam hati: Kini engkau lebih berkesan bagiku dari segala yang indah … aku merasa telah memiliki harta paling berharga … ya … sebaik-baik perhiasan dunia … inilah buah dari sebuah keluarga yang lebih memilih untuk istiqamah meskipun dianggap aneh oleh orang-orang …

* * *

Sahabatku berkata padaku: “Sejak hari itu … sejak 20 tahun yang lalu … aku sangat bahagia … aku berada dalam kebaikan yang banyak … keturunan yang baik, dimana ibu mereka mendidik mereka dengan baik untuk taat dan ikhlas …”
Aku memotongnya dengan berkata:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنِ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

* * *

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا وَجَمِيْعَ شَبَابِ الْمُسْلِمِيْنَ الزَّوْجَاتِ الصَّالِحَاتِ وَارْزُقْ اَللَّهُمَّ جَمِيْعَ بَنَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اْلأَزْوَاجَ الصَّالِحِيْنَ


Diterjemahkan secara bebas dari: kulalsalafiyeen.com artikel dengan judul:

بعد زواجهما بشهر واحد وليلتين اثنتين كانت المفاجأة


Source :
http://mdsaputra.wordpress.com/2011/12/27/setelah-menikah-satu-bulan-dua-malam-tibalah-kejutan-itu/

Rabu, 14 Desember 2011

MANDIRI

MANDIRI ... yaa mandiri...

Itu bisa bermakna banyak...teramat banyak...

Bisa jadi ada yang menyebut sebagai nama Bank, ATM atau mungkin ada yang mengatakan sikap mandiri dan sebagainya...
Tapi buat ku, seorang saka prayitno putro, seorang mahasiswa yang sampai tulisan ini keluar belum juga lulus kuliah karena banyak hal, nama ‘Mandiri’ sangat erat dan berarti sangat buatku...
Karena , Mandiri ini bersifat ganda buatku...
Pertama, karena dengan ‘keterpaksaan’ keadaan , kala itu, waktu itu, hingga saat ini, saya seakan ter mandiri dengan sendirinya. Ajaran orang tua khususnya ayah yang menekankan bahwa yang terpenting adalah pendidikan, utamanya tentang alokasi dana. Walhasil, segala kekuatan dana keluarga sebagian besar terfokus untuk pendidikan. Jadi untuk urusan SPP, buku dan sebagainya entah dari mana pun uangnya, Bapak pasti memenuhinya. TAPI untuk hal yang lain lain, nanti dulu... !!
Itu terjadi mulai dari aku kelas 5-6 SD sudah dibiasakan begitu. Walhasil, urusan jajan dan sebagainya amaat jarang terpenuhi.. Eskalasi terbesar adalah saat SMA, karena smp ku SMP negeri yang tingkat hedonisme nya yang masih belum  tinggi, lagi pula masih lazim anak smp tahun angkatanku (1999-2002) yang di antar jemput oleh Ortu... beda dengan anak Smp sekarang yang sok sok pakai motor , padahal belum paham benar dengan faktor keselamatan... dan ugal ugalan pula. SMA ku adalah SMA Swasta yang cukup terkenal, baik terkenal prestasinya ataupun terkenal dengan tingkat hedon nya yang besar. Yap, Saya bersekolah di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta atawa Sma MOEHA Jogja...yang terkenal pula dengan Genk nya yang terkenal d Jogja , “RANGER” / Remaja Alim Ning Gelem Rusuh...
Di SMA ku itu, karuan saja, yang masuk hampir 95 % termasuk dalam kategori golongan orang kaya (bukan termasuk saya). Sangat berbeda dengan gaya hidup selama ku hidup selama ini.. maka wajar, saat itu aku mulai banyak meminta uang jajan pada Ortu ku.. Karena waktu itu, saya hanya diberi uang bensin, dan bukan uang jajan. Walhasil kalau ada sisa dalam beli bensin saja saya bisa beli yang diinginkan. Oleh karena itu, mulai terfikir kan bagaimana cara mencari uang sendiri. Yap... seorang anak kecil yang badung kelas 1 sma Moeha mulai mencari cara bagaimana dapat duit.. di awal-awal masa pencarian duit, langsung di tawari untuk jualan Rokok, maklum dulu ibu pedagang rokok, alhasil laku keras di sekolah yang notabene fans Berat Kereta Api alias Nyepur alias Ngebul  
Itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya jualan mug, Pin dan lain lain hingga buku. Era hijrahnya diriku membuat cukup perubahan besar dalam pola berduit. Mulai dekat dengan Guru Agama SMA kala itu, mulai pula berjualan buku islami, kaset islami, peci dan sebagainya, bener2 aneh menurutku kala itu yang belum lama pindah dari dunia error ke dunia rada mending...hhaaa

Masih ingat kala itu, kelas 2 SMA, tahun 2003, berjualan kaset dan buku buku menggunakan alas tikar dan kardus yang berat. Terik matahari benar benar luar biasa kala itu. Masih ingat benar, pas di ajak rekan sesama penjual buku, saat ada Konser Izzatul Islam di UMY. Cuaca dalam kondisi yang sangat amat tak bersahabat, sementara hasil penjualan pun tak banyak...
Benar2 pengalaman yang luar biasa... kemudian di hari lain, ada lagi hal yang sama di UMY dan UNY UNY, males berbarengan dengan kecewa muncul dibenak. Saat itu memang gencar2nya banyak konser Nasyid di Jogja. Tapi kawan terus mengajak, akhirnya ikut juga.
Dan Luar Biasa... hari itu menjadi sebuah turning point buatku dalam memahami bisnis. Hari itu, di UNY saja laba bersih yang kudapat hingga 175 Ribu Rupiah. Untuk kala itu dan ukuran ku yang masih siswa, itu sebuah prestasi... Waaah pikirku. Lanjut dengan acara di UMY di total kala itu labanya bisa 300 ribu lebih. Amazing pikirku...
Dengan bekal semangat itu tadi ku beranikan dengan matur bapak/ibu untuk memakai rumah di Babarsari untuk membuka Toko yang menjual buku buku Muslim, kaset, VCD dan pakaian Muslim, toko baru bernama ‘Na’afi’ pun lahir. Nama yang sama dengan nama adikku bungsu, ‘Destriana Dayinta Na’afi’. Bertahan cukup lama, kurang lebih 2 tahun hingga penghujung kelas 3 SMA. Saat itu aku mendapat pengalaman berat dan berharga sangat tentang “Memberi gaji pada karyawan” yang saat itu ada satu orang. Benar-benar berat untuk ku yang saat itu masih SMA, kadang masih ngah ngoh dalam beberapa kebijakan kecil. Hmmm... pendewasaan tentang arti tanggung jawab dimulai dari sana.
SMA pun telah tamat, dan alhamdulillah tawaran masuk tanpa test pun datang dari UPN dan UMY dengan predikat ranking 3 atas seluruh calon Mahasiswa. Lalu nyoba ikutan UM UGM, dan lolos alhamdulillah dengan ijinNya. Kemudian bapak n ibu pun mengontrakkan Rumah di Babarsari untuk membayar biaya di UGM yang kala itu masih sekitaran 5 juta yang terasa amat beratt. Terus bergulir...waktu kian pergi, dan nilai kemandirian yang diajarkan keluarga pun msaih melekat. “Kalau mau beli sesuatu, ya beli sendiri” masih terngiang... Akhirnya mencoba melamar tentor di Primagama pada smester 4 kuliah, alhamdulillah keterima. Lalu dengan modal itu, mutar muter jogja mengajar mata pelajaran Sejarah dan Sosiologi untuk SMA dan Sejarah untuk SMP dan SMA. Akhirnya kesampaian juga untuk membeli HP sendiri, tas, sepatu dan terutama Kesukaanku “Komik” hha...

Akhir smester 7, ada sebuah lowongan untuk membantu mengelola Game Net. Waktu pun menjadi ganjil dan berubah, siang jadi malam, malam jadi siang. Karena kuliah sudah selesai teori, sehingga jam 22.00-4 pagi untuk bekerja dan siangnya untuk tidur. Sorenya untuk ngajar dan privat. Begitu terus seolah seperti robot hidupku. Namun hingga sat itu, tingkat prosentase meminta uang pada bapak menjadi terus berkurang. Kemudian, sekitar 2 tahun lalu tepatnya, Bapak mendirikan Fotocopy yang di beri nama ‘mandiri’ , filosofi nya memang sangat psikis jawa. Karena waktu itu, kehidupan keluarga kami susah dan harus menguliahkan seorang anak, dan menyekolahkan SMA seorang anak lagi, maka cukup berat beban kala itu dan banyak keluarga dan saudara lain yang menyibir. Great !! menyibir kataku...hmm
Dari situ mulai banyak belajar dari bapak tentang manajemen “Mini Perusahaan’’ kalau boleh dibilang. Dan tentu yang lebih susah adalah MeManajemen Karyawan. Sepati dua pati jatuh juga dalam menyeleksi karyawan di awal awal berdiri. Luar biasa benar kendala di awal kala itu. Kejujuran tenaga tenaga yang belum dapat digadaikan dengan kepercayaan kami menjadi menu utama. Belum lagi berbagai fitnah yang bermunculan yang ditujukan pada bapak, seperti kata kata “Wah pantes, pak ***** ra tau kethok, ra tau bali wong pegawaine ayu..” dan sebagainya. Memang kala itu pegawai di Fotocopy dua orang perempuan dan karena itu sampai saat ini Bapak tidak mempekerjakan perempuan di tempat usahanya. Dari situ aku banyak membantu baik pengelolaan maupun tender proyek karena memang dekat dengan beberapa kampus, seperti ‘Unriyo (respati)’ UII Ekonomi, UPN Veteran, Univ Proklamasi 45, dan Akindo yang berlokasi di kawasan babarsari dan Condong catur dan khususnya dari tempatku kerja, primagama..haha..

Hidup pun terus berlanjut, kehidupan kami 2 tahun ini mulai membaik, belajar dengan bapak tentang pengelolaan tempat usaha khususnya Fotocopy membuat ku banyak memiliki tambahan ilmu yang tak ku peroleh di bangku Kuliah. Hingga akhirnya, Mandiri fotocopy kami dapat mendapatkan rata rata Omset Rp.1 Juta per hari..Dari situ mulai sadar, bahwa tak selamanya aku berada di bawah ketiak orang tua. Akhirnya mulai berfikir untuk sambil ber bisnis sendiri, mulai dengan bisnis Kirim Buku import ke Sahabat Sahabatku di kalimantan dan Sumatera hingga ber puluh kardus kardus nilai bobot bisnis per minggu nya. Hasilnya pun lumayan besar, hingga mendapatkan Job pelatihan dari SMA untuk membina KIR dan dapat digunakan untuk modal berikutnya, hingga Usaha Pernak Pernik khas jogja, bros Khas lambang Kerajaan Mataram di Jogja, gantungan Kunci Khas Jogja serta andalannya adalah Topi Berbordir ‘Lambang Kraton Ngayogyakarta’ yang telah menembus Pulau Sumatera, Kalimantan Timur dan Kawan di Sulawesi.  
“Itulah Nikmatnya Silaturahmi dan Link”    sobat.
Kemudian dari hasil jerih payah yang entah berantah, ketika ada informasi mau di oper kontraknya Laundy di kawasan Kampus UNY dengan harga cukup murah (menurutku), langsung saja ku sambar kesempatan itu. Dan laundry bernama ‘Arofah’ pun berdiri di karangmalang UNY. Alloh memang Maha Kuasa, kemudian ada Mesin yang rusak dan kemudian kebetulan diperbaiki oleh Bapak bapak Teknisi yang mampu membuat Alat seperti AC yang memiliki fungsi berbeda. Yakni membuat Udara sekitar menjadi O2/oksigen dan membunuh kuman penyakit karena mengandung Laser khusus di dalam alat itu. Deal bisnis pun semakin jadi, untuk berusaha memasarkan dalam mass production, ke Rumah Sakit, atau kantor2 ellite dengan harga fantastis. Karena memang hanya ada di beberapa negara saja alat tersebut seperti di USA dan Jepang. Namun karena masalah dana, harus lebih bersabar dalam hal itu. Tak lupa pula ada jalinan kerjasama dengan sahabat baik untuk mempromosikan ‘Freon AC’ dan aku ambil bagian dalam marketingnya. 10 Persen untuk setiaP Unit dan PK AC, cukup untuk ku yang masih bujang . Belum lagi tawaran untuk memasarkan kambing Kurban tiap Tahun pun benar2 lumayan. Untuk tiap kambing di beri 250 ribu dan waktu Tahun lalu berhasil menjualkan 13 Ekor kambing, dan sangat mudah, karena ku tawarkan pada adik adik Organisasi yang akan menyembelih kambing :D. Bertepatan dengan hal hal baik itu, ada kabar dari Bapak bahwa Laundry yang mengontrak di rumah Babarsari sudah mau habis kontraknya, langsung pula ku hubungi sahabat baikku hingga kini, siapa tahu ada yang mau ber Investasi di jasa laundry dekat kampus ini. Dan dengan penuh dag dig dug, buka lah “Mandiri Laundrynya Mahasiswa” di kawasan Babarsari. Ada mandiri Fotocopy ada Mandiri laundry..
Kedua, Sebuah Spirit baru telah terbenam dalam hati, Sebuah epilog Azzam telah terukir, nama basis awal untuk melangkah lebih maju di beri nama sama dengan tekad seorang peemuda yang nekad untuk bisa hidup lebih Mandiri...




*-*-* Rabu 20.30 , 14 Des 2011 @ Mandiri Laundry.. *-*-* Just For Share Utk Sahabat Semua *-*-*