Dalam harian Suara Pembaruan tanggal 24 April 2009 ada tulisan Ibu Meutia Hatta Swasono yang menguraikan betapa banyak pemuda Indonesia kurang mengenal Tanah Air dan Negaranya sendiri. Dalam tulisan itu beliau mengatakan bahwa kekurangan itu bahkan meliputi kaum mahasiswa.
Hal demikian tentu berpengaruh besar terhadap ikatan batin para pemuda kita dengan Tanah Airnya sendiri. Itu mau tidak mau berlanjut pada tipisnya rasa Cinta Tanah Air dengan segala akibatnya pada kehidupan bangsa kita.
Ibu Meutia berpendapat secara tepat bahwa hal ini adalah akibat dari pendidikan yang kurang sekali memperhatikan faktor geografi dalam pembentukan kepribadian anak didik dan menyarankan agar hal ini secepat mungkin dikoreksi.
Memang sudah lama hal ini merupakan kekurangan yang amat merisaukan dalam pendidikan sekolah kita. Anehnya adalah bahwa justru dalam pendidikan sekolah di masa penjajahan Belanda para murid sudah cukup dini diberikan kesadaran geografi tanah airnya. Pada tingkat Sekolah Dasar masa penjajahan Belanda, baik di Hollands-Inlandsche School (HIS) maupun Europese Lagere School (ELS), mulai di kelas 3 diajarkan Ilmu Bumi. Pelajaran Ilmu Bumi itu berlanjut hingga tamat HIS dan ELS dan dilanjutkan di Sekolah Menengah (MULO-AMS dan HBS) sampai selesai.
Di kelas 3 SD dimulai dengan mengajarkan lingkungan di mana murid berada. Ketika saya sekolah di Semarang maka di kelas 3 SD saya harus mengenal kota Semarang dengan baik. Nama jalan-jalan, lokasi dan nama gedung-gedung penting seperti Rumah Sakit Umum, stasiun kereta api, lokasi kantor Gubernur Jawa Tengah, Residen Semarang dan Wali Kota , dan lainnya. Ini dilanjutkan masih di kelas 3 dengan mengenal Keresidenan di mana murid ada, karena di zaman itu ada tingkat pemerintah keresidenan antara Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Jadi buat saya adalah mengenal Keresidenan Semarang dengan baik. Semua kota yang ada di wilayah itu, gunung-gunung, sungai, pabrik-pabrik penting, jalannya kereta api dan jalan provinsi, dan lainnya. Kita juga harus dapat menggambar wilayah Keresidenan Semarang luar kepala dengan letak kota-kota, aliran sungai dan lokasi gunung-gunung, jalan-jalan yang menghubungkan kota baik KA maupun darat, adanya pelabuhan, dan lainnya. Itu berarti bahwa pada umur 8 tahun saya telah benar-benar mengenal bagian Tanah Air Indonesia di mana saya berada.
Di kelas 4 SD pelajaran Ilmu Bumi diluaskan meliputi seluruh pulau Jawa. Kita sebagai murid harus tahu betul nama semua gunung yang tingginya di atas 1000 meter, mulai dari Gunung Gede Pangeranggo di Jawa Barat hingga Pegunungan Ijen di Jawa Timur. Semua sungai besar seperti Sungai Ciujung di daerah Banten hingga Sungai Berantas di Jawa Timur serta aliran Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita hafal nama semua kota yang dilalui Kereta Api Eendaagse yang menghubungkan Jakarta (Batavia) dengan Surabaya dalam kurang dari 12 jam. Juga kota-kota lain yang mempunyai arti penting karena kegiatan ekonomi dan industri, seperti Jatiroto di Jawa Timur dengan pabrik gulanya terbesar waktu itu. Pengetahuan ini sangat bermanfaat bagi saya sampai hari tua. Seperti ketika saya turut Long March atau Jalan Jauh Divisi Siliwangi pada tahun 1948-1949 dari sekitar kota Banjarnegara di Jawa Tengah hingga ke Daerah Gerilya Batalyon Nasuhi di kabupaten Ciamis. Jalan kaki menyeberang sungai Serayu yang banjir, melewati Gunung Slamet dengan kota-kota Bobotsari, Baturaden dan Bumiayu, itu semua saya lakukan tidak lepas dari pengetahuan yang saya peroleh pada umur 9 tahun di kelas 4 SD.
Di kelas 5 SD Ilmu Bumi mulai meluas ke seluruh wilayah Indonesia dengan semua pulaunya, terutama pulau besar Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kepulauan Sunda Kecil. Tentu pengetahuan mengenai pulau Jawa jauh lebih intensif dari yang diperoleh mengenai pulau besar lainnya. Akan tetapi toh kita pasti tahu nama semua gunung di atas 1000 meter dan sungai besar di semua pulau. Kita diajar tentang lokasi pertambangan dan industri seperti lokasi produksi minyak di Sumatra Selatan , Riau dan Pangkalan Brandan di Sumatra Utara , tambang batu bara di Kalimantan, perkebunan di Sumatra Timur dan semua kegiatan ekonomi yang penting.
Dalam pada itu Ilmu Bumi mulai mengajarkan kita tentang luar Indonesia. Karena penjajah kita bangsa Belanda, maka kita harus belajar tentang negeri Belanda dengan semua sungainya yang besar dan kecil. Dasar sifat penjajah, kita harus tahu nama sungai Geul di Limburg yang ternyata hanya sungai selebar tiga meter ketika saya kemudian sempat melihat negeri Belanda. Dan gunungnya yang tertinggi hanya sekitar ratusan meter yang di Indonesia hanya kita anggap sebagai bukit belaka.
Di kelas 6 pelajaran Ilmu Bumi tentang Indonesia dan Belanda diperdalam, dan ditambah tentang seluruh benua Eropa. Sedangkan di kelas 7 SD ( di zaman penjajahan Belanda SD sampai kelas 7) pelajaran meliputi seluruh benua, yaitu Amerika, Afrika, Asia dan Australia.
Maka kita melihat bahwa pelajaran Ilmu Bumi atau Geografi cukup luas dan mendalam di tingkat Pendidikan Dasar, khususnya mengenai Tanah Air kita sendiri. Juga pengetahuan geografi bagian planit Bumi lain cukup baik. Hal ini sama sekali tidak diberikan dalam Pendidikan Dasar kita sekarang dalam Indonesia Merdeka. Mungkin sekali pengetahuan geografi pemuda lulusan SD zaman penjajahan tentang Indonesia yang umurnya sekitar 13 tahun lebih luas dan dalam dari pemuda lulusan SMP dan bahkan SMA sekarang yang umurnya 18 tahun. Kecuali mereka yang sekolah di SMP dan SMA yang tinggi mutunya. Sedangkan di zaman penjajahan standard pendidikan di semua HIS dan ELS di seluruh Indonesia (Hindia Belanda) umumnya sama.
Apalagi setelah lulus Pendidikan Menengah para pemuda Indonesia di zaman penjajahan jauh lebih menguasai pengetahuan Geografi dari pada mereka lulusan Pendidikan Menengah sekarang.
Ketika saya menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional antara tahun 1988 hingga 1998 hal ini amat sering saya kemukakan termasuk kepada para pejabat dan Menteri Pendidikan Nasional. Saya katakan bahwa hal ini saya lihat dalam pendidikan yang diperoleh anak-anak saya, padahal mereka mengikuti pendidikan SD, SMP dan SMA di sekolah-sekolah yang tergolong bermutu. Tidak ada di antara anak-anak saya yang pernah diajak mengenal Tanah Airnya seperti mengetahui semua gunung dan sungai di Jawa, apalagi di pulau-pulau lain Indonesia. Nampaknya para pakar pendidikan kita kurang menyadari betapa pentingnya pengaruh yang timbul dari pengetahuan yang diperoleh dari Ilmu Bumi terhadap kepribadian anak-anak kita. Mereka tak sadar bahwa betul-betul benar pernyataan Tak Kenal Maka Tak Cinta. Yang saya kurang pahami adalah mengapa mereka yang menjadi Pakar Pendidikan dengan gelar paling rendah Dokterandus, bahkan banyak yang Doktor dan Professor tidak memperhatikan hal ini. Mereka amat gemar berteori tentang Pendidikan, berbicara dalam seminar, menulis di surat kabar dan majalah, tapi tidak melakukan hal yang amat mendasar untuk pembentukan kepribadian Manusia Indonesia, yaitu Mencintai Tanah Airnya. Mungkinkah tulisan ini dapat mengubah sikap mereka ? Semoga !!
saka prayitno putro
jogja
(catatan ini adalah sebuah pesan dari seorang sahabat)