Sabtu, 04 Desember 2010

Sedikit Mengulas Daerah Istimewa II

Bismillah...

Setelah Yang Lalu menggambarkan Sejarah seri I, sekarang akan kita coba pelajari swdikit dimulai dari Landasan hukum dibentuknya DIY..


dengan mencoba sedekat mungkin dengan objektivitas, semoga informasi ini tetap dapat memberi keterangan yg terbaik..meski dalam hati kecil, tetap KEISTIMEWAAN DIY  Tak bisa d ganggu gugat.



But, Kita coba tela'ah yuk :.. 

Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)

     Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Rep indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

 

Pembentukan DIY (1950)

     DIY secara formal dibentuk dengan UU. No.3 Tahun 50 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU. No.48 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.


Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)

-Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)-

     Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.

Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)

Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)

     Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948). Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai 'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.


Penyatuan Wilayah (1957-1958)

nb. Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957

     Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kotagede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunegaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33, TLN 1562).

Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)

     Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.

Periode IV: 1965-1998

Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)

     Tanggal 1 september 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.

Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)

     Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.

Wafatnya Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)


Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY

     Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
     Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Periode V: 1998-2008

-Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-2008)-

Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)

     Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
     Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
     Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.

Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)

     Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).

Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)

Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.

Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-2008)

     Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khuSus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.


Peristiwa-Peristiwa terkini

Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X


Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya

     Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 april 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.
     Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
      Bagi Roy Suryo  pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
      Warga Bantul siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan.
     Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.

Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY

     Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas, pada 13 april 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.
     Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).

RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)

     Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspiras!. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo, tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
     Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR, namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham. Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas. Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008. Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008.
     Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan. Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat. Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY.
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada  DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas. Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada.

Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta

     Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
     Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
     Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh : 1.manuver politik Sultan yang bertahta terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan, sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional. 2.setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amanademen), pasal 18 b (ayat 1 & 2. 3.pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas. 4.ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI. 5.perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila. 6.proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.


Semoga Bisa menambah perbaikan berfikir Kita ya prend...
^_^

sakajogja - 4 des 10


5 komentar:

  1. Semoga Masyarakat Yogyakarta Semakin Ter Cerdaskan ...

    BalasHapus
  2. Ayo kita dukung keistimewaan yogya, silahkan baca tulisan saya disini http://uliearieph.blogspot.com/2010/12/yogyakarta-negara-monarki-benarkah.html

    BalasHapus
  3. keistimewaan jogja adalah harga mati...

    BalasHapus
  4. Kangen Yogyakarta. Yogya memang luar biasa! Kedua orang tua saya dari sana :)

    BalasHapus
  5. kapmepi : Iya..semoga

    Yulianti : Iya...kerenn....siip...Pertahankan !!

    Mb Wati : tul butul....

    Mb Titan : makasihh ya udah berkunjung ^_^ emang sekarang dmana?

    BalasHapus

Tinggalkan jejak mu ...