Jumat, 10 Juni 2011

Pasanganku Kok Begono...?

Siapa yang tidak ingin memiliki pasangan hidup yang sholeh atau sholehah? Siapa yang tidak ingin memiliki pendamping yang berakhlak baik? Seburuk apapun diri kita, pastinya kita ingin pasanganan hidup yang baik. Tetapi tidak setiap orang mendapati kenyataan ini dalam kehidupan.
 
Ada yang suaminya sungguh baik, tetapi istrinya galak, matre dan tukang gosip. Ada yang istrinya sholehah, tapi suaminya tukang mabuk, suka judi dan bersikap kasar. Atas fenomena ini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, kok kesannya jadi nggak adil ya? Orang baik-baik, tapi dapet jodohnya begitu?
Memang jadi sulit dijelaskan. Tetapi jika ingin dipahami, inilah ujian Allah. Sesungguhnya Allah berkehendak membuka ladang amal yang seluas-luasnya bagi diri kita, lewat tingkah polah pasangan hidup kita, yang jauh dari harapan. Alhamdulillah, tidak usah cari jauh-jauh, ladang amal ada di depan mata. Karena pernikahan memang ladang amal soleh. Bagi wanitanya, pun bagi laki-lakinya. Maka bagi yang “tidak beruntung” dengan pasangan hidup yang tidak sholeh atau sholehah, mudah-mudahan tetap dapat memberi pelayanan yang terbaik bagi pasangannya, dengan harapan semoga mendapat ridho Allah dan semoga kelak mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya.
Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita, mari mengevaluasi diri. Apa sesungguhnya niat kita ketika hendak menikah? Mudah-mudahan, jawaban dari pertanyaan itu, dapat memperbaiki mood kita yang buruk karena pasangan hidup tidak sesuai harapan.

Jika benar kita meniatkan pernikahan sebagai ibadah atau sarana pengabdian kita kepada Sang Khalik, maka semestinya pelayanan kita terhadap pasangan hidup kita, tidak ada embel-embelnya. Artinya, mau dia bertingkah seperti apapun tidak jadi masalah, karena pasangan hidup hanya sarana untuk mengabdi kepada Allah. Fokus dan tujuan kita adalah Allah. Jika ternyata pasangan hidup kita adalah pribadi yang sholeh/ah, maka itu adalah bonus.
Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita, sebelum berputus asa, mungkin ada baiknya kita merenung kembali. Tidakkah kita terlalu meninggikan kriteria bagi pasangan hidup kita? Sikap berharap secara berlebihan terhadap pasangan hidup, berpotensi menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Karena pola pikir yang tertanam dalam diri kita adalah menerima kebaikan, bukan keinginan untuk saling mengisi dan memperbaiki satu sama lain.
Semakin tinggi standard yang kita tetapkan, maka akan semakin besar potensi kita untuk kecewa. Karena semakin tinggi standard, semakin terlihat jelas jika terjadi hal-hal yang melenceng dari standard.
Memiliki harapan tinggi boleh-boleh saja. Tapi, sebelum kita bermimpi mendapatkan suami seperti Rasulullah, lebih baik kita berkaca diri, sudahkah kita seperti Ibunda Khadijah r.ha? Sebelum berharap memiliki istri seperti Fatimah Az-Zahra r.ha, lebih baik kita bercermin, sudahkah kita seperti Ali bin Abi Thalib r.a ?
Jadi, berprasangka baiklah kepada Allah, kemudian berserah diri. Jangan mendikte Allah tentang jodoh kita. Percaya, bahwa Allah memberi kita yang terbaik sesuai dengan penilaian Allah terhadap diri kita. Yakin, Allah tahu yang paling cocok untuk diri kita. Kemudian berserah diri dan bersabar dengan jodoh pilihan dari Allah. Insya Allah, ini akan lebih menenangkan batin dan membuka pintu keikhlasan..

Kamis, 21 April 2011

Foto Jogja

Sahabat Dimanapun Berada, Jogja Selalu Menambat Hati Siapapun Yang Mengenalnya, Mengunjunginya Ataupun Hanya Sekedar Mendengarnya..

Jogja..

Never Ending Asia...









Tunggu Gallery Yang Lainnya Ya Sobat..


Monggo Pinarak Jogja  ^_^


Istimewa Selalu..

Selasa, 19 April 2011

Berani Mundur (Sikap Politik Anggota DPR RI)



..lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai
lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai
lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling
mengusung moralitas di kancah politik nasional. (Zaim Uchrowi)
...


Oleh Zaim Uchrowi
Arifinto sungguh disayang Tuhan. Anggota DPR itu saya yakin seorang
yang baik. Lebih baik dari rata-rata orang, lebih baik dari kebanyakan
rekan legislatifnya. Tapi, sebaik-baik orang tentu punya kelemahan,
tak terkecuali orang baik ini. Ia melakukan yang tak patut bagi orang
sebaik dirinya, apalagi di tengah rapat Paripurna DPR—rapat yang
semestinya diikuti cermat oleh semua pesertanya.

Allah SWT mengingatkannya lewat lensa kamera wartawan. Hal yang sesaat
tentu memukul perasaannya juga perasaan rekan-rekan separtainya yang
memosisikan diri untuk menegakkan moral. Pukulan tertelak tentu harus
ditanggung keluarganya. Mereka tiba-tiba harus mendapat kerlingan aneh
orangorang di sekitarnya. Tapi, seorang Arifinto tentu seorang
realistis. Ia sadar dan siap memikul konsekuensi atas perbuatannya.

Tak banyak orang yang segera di ingatkan Tuhan begitu berbuat salah.
Tak sedikit orang yang berbuat salah lebih parah dari dia, namun
dibiarkan Tuhan. Banyak pejabat yang gemar berzina juga rajin menilap
uang rakyat dengan berbagai cara, baik yang kasar maupun yang tampak
beradab, tapi Allah membiarkannya. Mereka dibiarkan hanyut dalam
perbuatan kotornya dan tak dipermudah jalannya untuk kembali menjadi
orang baik.

Arifinto tidak seperti itu. Ia tidak pernah benar-benar kotor seperti
banyak orang lain yang tampak baik dan terhormat —padahal tidak.
Nuraninya relatif terjaga. Ketika menyadari telah melakukan hal yang
tak patut, segera ia menginstro speksi diri. Ia memilih mengundurkan
diri. Hal yang hampir tak akan pernah dilakukan siapa pun di DPR,
bahkan oleh mereka yang memiliki kesalahan lebih besar.

Di dalam dunia politik kita, mundur belum biasa. Sangat berbeda dengan
Jepang. Pejabat yang dinilai kurang patut, berdasarkan norma Jepang,
akan segera mundur. Pejabat yang dituding bersalah oleh publik akan
mundur. Mereka tidak akan mencoba membela diri, dan mereka tidak sibuk
berdalih menutupi kesalahan atau kekurangannya. Buat mereka, jabatan
adalah kepercayaan. Bila kepercayaan pada dirinya hilang, dia akan
segera menyerahkan jabatan. Apalagi kalau jelas membuat kesalahan.
Arifinto mengingatkan kita pada nilai itu. Ia mundur dari jabatannya.
Hal yang dulu juga dilakukan Bung Hatta. Kebetulan atau tidak, menurut
pakar politik Indra J Piliang, keduanya orang Bukittinggi. Daerah yang
di masa-masa awal Indonesia banyak melahirkan pemimpin besar. Mundur
dari jabatan bahkan dilakukan oleh pemimpin yang dituding
pengeritiknya sebagai otoriter, seperti Soeharto. Merasa rakyat tak
membutuhkannya lagi, Soeharto mundur.

Tak gampang buat memutuskan mundur. Hanya orang yang sungguh paham dan
sadar apa arti jabatan yang berani mundur. Seorang yang berani mundur
tahu betul bahwa jabatan bukan tujuan, jabatan hanya sarana. Bukan
sarana buat memupuk kejayaan diri sendiri, melainkan sarana untuk
membangun keadaan lebih baik untuk masyarakat. Maka, jabatan harus
dipikul dengan penuh martabat. Jabatan dijaga dengan kepatutan dan
moralitas tinggi. Seorang yang mengincar jabatan buat kejayaan diri
tidak akan pernah mau mundur. Mereka akan gunakan segala cara untuk
mempertahankan jabatan.

Sebaliknya bagi orang bernurani yang tahu jabatan hanya sarana, mereka
akan mundur saat telah melanggar kepatutan memikul jabatan. Mereka
akan mundur ketika jabatan tak lagi efektif untuk menggapai tujuan
membuat kebaikan di masyarakat. Itu yang dilakukan Hatta begitu
Soekarno mulai membangun pemerintahan otoriter berlabel demokrasi
terpimpin.

Arifinto membuat langkah penting bagi bangsa ini, membiasakan budaya
mundur. Hal yang tentu tak lepas dari sikap partainya, PKS. Partai
yang dalam beberapa waktu terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk
pada kasus ini. Namun, lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda
dengan partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin
dilakukan partai lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif
masih paling mengusung moralitas di kancah politik nasional.


*)sumber: Republika edisi Jumat (15/4/11)